Ketika dunia mengutuk serangkainan aksi brutal rezim junta militer Myanmar beberapa bulan silam, seorang kawan mengirim SMS, "kutuk aksi pembantaian rakyat oleh junta militer di Burma, buka situs www.prodemburma.blogspot.com."
Selintas aku berfikir, sudah cukup jauh ternyata kawan-kawan menyikapi praktek kontra-humanis itu. Sampai-sampai mereka mengorganisir diri dan tekun melakukan desiminasi aura kedamaian dan kemanusiaan via dunia maya.
Malam harinya, saat harga sewa di warnet bisa dikompromikan, dan bertepatan dengan kebutuhanku berinteraksi dengan inbox-inbox di e-mail, aku juga tertarik mencandra rupa blog bentukan para aktivis, kolumnis, dan jurnalis itu.
Tapi sayang, aku lupa alamatnya. SMS yang memberitahuku di siang hari tadi sudah terlanjur kuhapus. Sedikit bingung. Tapi seketika aku teringat blog www.jelangfajar.blogspot.com milik Eri Irawan, jurnalis cum esais yang kini sudah menjadi sarjana muda ekonomi. Dia orang yang kirim SMS tadi.
Akhir-akhir ini aku tak pernah lupa meluangkan waktu barang sejenak untuk menengok kabar si penunggu fajar, -nick name yang diciptakan Eri untuk menyebut owner si jelang fajar-: apakah ia sudah memposting tulisan-tulisan terbarunya, atau sekedar mencari berita-berita mutakhir yang sekiranya luput dari perhatianku.
Tapi yang paling membuatku betah di sana adalah corak tulisannya yang masih setia pada gaya jurnalisme sastrawi atau narratif reporting. Style penulisan yang mengingatkanku pada momen di bulan Maret 2006 saat aku mewakili LPM PRIMA Fisip mengikuti program short writing course for student journalist (SWC) untuk para wartawan kampus se-Jawa Timur-Bali yang digelar Yayasan Pantau Jakarta, bekerjasama dengan UKPKM Tegal Boto Universitas Jember. Acara dilaksanakan di Hotel Taman Wisata Rembangan, Jember, selama 5 hari yang diakhiri field trip ke Gunung Bromo.
Pantau adalah lembaga pers yang getol mengkampanyekan semaraknya jurnalisme berbahasa Melayu. Sejak berdiri tahun 1999, misinya tidak berubah: meningkatkan standard jurnalisme Melayu. Pantau juga bikin kursus jurnalisme sastrawi secara rutin tiap semester dengan instruktur Janet Steele dari Washington. Gerakan dalam penulisan genre ini terasa getarannya di Indonesia, Malaysia dan Timor Leste. Dan secuil aktivitas pegiat Pantau itu sudah pernah kurasakan bersamaan dengan sejuknya bukit Rembangan.
Itulah pengalamanku pertama kalinya ikut pelatihan di hotel -meskipun tidak berbintang-. Menikmati fasilitas yang lebih dari cukup untuk ukuran anak kos: Makan ala restoran gratis, tidur di ranjang empuk gratis, plus wisata ke kawah Bromo gratis. Semua serba gratis. Maklum, namanya juga beasiswa. Jadi segalanya cuma-cuma.
Syaratnya pun tak sulit. Cuma mengirimkan curiculum vitae plus beberapa lembar esai yang akan diseleksi guna meraih 20 tiket pelatihan itu.
Sejatinya aku iseng ikut seleksi itu. Tapi tak disangka namaku terpilih. "Terpaksa" aku mengikutinya. "Keterpaksaan" ini terkait dengan orientasiku sewaktu awal kuliah. Aku lebih terobsesi mendalami dunia tulis-menulis untuk menjadi kolumnis handal yang getol melakukan riset-riset ilmiah daripada menjadi jurnalis.
Saat itu aku ekstrem membedakan dua profesi tersebut. Bagiku dunia jurnalistik adalah medan penulisan yang terlalu monoton, karena hanya sekedar berpaku pada peristiwa-peristiwa aktual yang membosankan. Bandingkan dengan ragam penulisan opini yang terlihat lebih bebas berkreasi, lepas bereksperiman terhadap segenap format penulisan dan aliran pemikiran. Jadi ketertarikanku masuk pers mahasiswa juga iseng. Meski tak disangka keisenganku itu "mengantarku" menduduki kursi Pimred, bahkan sampai pucuk pimpinan.
Nyatanya aku salah besar. Dunia jurnalistik tidak sesempit yang kukira. Seorang kolumnis pun tidak sebebas yang kubayangkan. Dia tidak bisa nulis seenaknya, ngelantur ngalor-ngidul tanpa fakta. Dan kerja mencari atau memverifikasi data/fakta adalah makanan sehari-hari seorang jurnalis. Artinya, meski secara prinsipil tulisan berita dan opini memang berbeda dan harus dibedakan, tetap saja kita tidak bisa memisah begitu saja secara diamertal dua keahlian itu.
Tak salah bila Agus Sopian, wartawan Pantau, mengatakan bahwa kolumnis yang handal adalah yang membekali dirinya dengan wawasan jurnalistik yang mumpuni, atau malahan sekaligus kolumnis cum wartawan. Hal itu terbukti ketika aku begitu takdzim menelusuri catatan-catatan Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad, Seno Gumira Adjidarma, dan yang lainnya.
Kesan pertama begitu memikat. Sesampainya di hotel, cepat-cepat aku meralat "keterpaksaanku". Sama sekali tanpa sesal aku larut dalam setiap jengkal acara. Keminderanku sebagai Pimred kelas "kutu kupret" yang baru kemarin sore terpilih, dan tentu saja kemampuan jurnalistiknya yang masih cekak, perlahan terkikis. Naluriku yakin, aku akan belajar dan mendapat banyak hal dari sini. Optimisme-ku membuncah, dan aku siap menyongsong hari-hari berikutnya.
Dari Pantau mengirim tiga orang fasilitator: Agus Sopian, Budi Setyono, dan Eva Damayanti.
Kang Agus, begitu kami memanggil jurnalis dari Bandung itu. Mimik mukanya lucu. Tanpa bicara pun aku sering tersenyum memandangnya. Kalau sudah ngomong, logat sundanya kental terasa. Tapi soal kemampuan jurnalistik, jangan ditanya. Selama di Pantau dia berulang kali mengikuti pelatihan jurnalistik level internasional, termasuk yang terakhir investigatif journalism di Kuala Lumpur, Malaysia.
Karenanya ia begitu getol menyerang kecenderungan jurnalis Indonesia yang gandrung memberi atribut "investigasi" bagi setiap produk jurnalistiknya. Bahkan dunia infotainment pun ikut-ikutan pake term itu. Padahal alih-alih investigatif, sekedar masuk klasifikasi produk jurnalisme saja, infotainment itu belum pantas. Seperti kata Ignatius Haryanto -penulis buku Aku Selebritis Maka Aku Ada.- artis itu bukan public figur, melainkan market figur. Sebab itu mereka tidak layak digolongkan dalam objek pemberitaan pers, yang dalam panduan Sembilan Elemen Jurnalisme-nya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel ditekankan harus punya kaitan dengan kepentingan publik (khalayak) luas. Sebut saja pejabat pemerintahan, aparat penegak hukum, ekonom, politisi dan sebagainya.
"Saya termasuk wartawan yang menolak infotainment sebagai produk pers," Kata Kang Agus mengkritisi PWI yang memberi tempat bagi "wartawan" Infotainment dalam struktur organisasinya.
"Jangan latah pake kata investigasi. Nggak gampang lho bikin laporan investigatif. Syaratnya berat-berat. Di Indonesia belum ada yang berhasil bikin laporan investigatif kecuali Bondan Winarno."
Tahu siapa Bondan Winarno? Tanpa sangka sosoknya ternyata sering kita temui sebagai presenter di reality show "Wisata Kuliner" Trans TV. Pengasuh milis jalansutera.com itu ternyata penulis buku "Sebongkah Emas di Kaki Langit" yang sempat ditarik dari peredaran karena gugatan pencemaran nama baik. Pasalnya buku hasil investigatif reporting itu berhasil menguak sisi kelam seorang pengusaha kroni penguasa yang memalsukan identitas kematiannya demi kabur ke luar negeri dengan harta kejahatnnya. Bondan berhasil menjungkirbalikkan pandangan umum di media tentang suatu isu dengan menggagas hipotesis baru.
Memang, seperti dijelaskan Bob Woodward, paling tidak ada tiga syarat utama investigatif reporting. Pertama, isu yang diangkat harus benar-benar orisinil. Artinya belum pernah di ekspos media lain. Kedua, isu itu harus benar-benar berkaitan dengan kepentingan publik (bukan pasar). Ketiga, hasil dari reportase itu dituntut mampu menghadirkan hipotesis baru yang mampu membongkar commom sense sebelumnya.
"Makanya," lanjut Kang Agus, "jangan asal tulisannya panjang bisa disebut laporan investigasi. Lha rubrik FOKUS di harian Kompas yang tulisannya bisa memakan puluhan halaman itu masih belum memenuhi standar laporan investigasi kok."
Ah, Kang Agus, begitu mempesona wawasan literasimu.
***
"Buset, kependekan dari Budi Setyono," Begitu ia memperkenalkan diri. Mas Buset sejak mahasiswa sudah menyelami dunia literasi di Semarang. Sempat juga mencicipi kerasnya dapur redaksi harian Suara Merdeka sebelum hijrah ke Jakarta menjadi wartawan Pantau cum editor buku.
Mas Buset tipikal seorang pendiam. Walau kadang gurauannya membuat kami terpingkal. Dia seorang pengemar musik. "Segala aliran musik," katanya.
Selama kuliah waktunya lebih banyak dihabiskan untuk ngeband dan belajar jurnalistik. Karenanya ia punya semboyan, "tak akan lepas dari musik dan jurnalistik, dan tentu saja sejarah." Mas Buset juga seorang sarjana Sejarah Undip sekaligus ketua organisasi Masyarakat Peduli Sejarah di Semarang.
Dia yang sering memotivasi kami untuk berani memulai merubah kebiasaan menulis berita secara monoton. Mas Buset mengkritik kami yang selalu menulis liputan dengan bahasa ala skripsi. Kaku. Terlalu ilmiah, sehingga membosankan pembaca. Ia menyarankan mulai belajar menulis panjang gaya sastrawi, tanpa mengabaikan standar-standar jurnalisme. Semisal memakai by line dan pagar api sebagai pembatas iklan.
Mas Buset jualah yang membedah tulisan kami satu-per satu setelah diberi tugas menyusun riset kecil-kecilan di daerah sekitar. Tapi dia juga rela tulisannya yang berjudul "Ngak-Ngik-Ngok" dalam buku "Antologi Jurnalisme Sastrawi" itu dibedah para peserta sebagai wujud "balas dendam" setelah tulisan kami dikritiknya habis-habisan.
***
Eva Damayanti, yang di Pantau menjabat sekretaris menjadi mitra ketiga dalam diskusi kami. Dia lebih banyak diam di dalam forum, tapi begitu sibuk saat di luar ruangan. Terutama ketika menyemangati kami untuk terus belajar menulis liputan panjang dengan gaya jurnalisme sastrawi.
"Nanti sepulang dari sini, belajar bikin outline ya! Terus lakukan riset dan dituangkan dalam penulisan berita naratif. Nanti hasil liputannya coba dikirim ke Mas Buset atau Kang Agus, siapa tahu layak masuk ke sindikasi berita Pantau. Lumayan lho honornya. Per-katanya akan dihargai 400 rupiah," mimik Mbak Eva berubah serius kalau sudah bicara itu.
Tentu tawaran itu tantangan yang menarik. Di akhir acara sempat muncul usulan kita akan buat newsletter antologi jurnalisme sastrawi alumni SWC Pantau 2006. Persis meniru buku Antologi Jurnalisme Sastrawi milik para "seniornya" di Pantau. Tapi alih-alih tercapai, lha untuk sekedar menjaga kontinuitas komunikasi via milis saja, sudah patah beberapa bulan setelah pelatihan.
Sebaliknya dia juga mempersilahkan kami memakai tulisan-tulisan sindikasi berita Pantau untuk dimasukkkan dalam media kami. "Untuk Persma sementara gratis, tapi jangan lupa kirimi kami hasil cetaknya," ujarnya
Mbak Eva, jurnalis asal Lampung itu begitu ramah dan akrab dengan kami, apalagi jika sudah di ruang makan.
***
Nyaris dua tahun berlalu, petuah-petuah itu sepertinya berlalu begitu saja. Semua seolah tertelan oleh kontestasi dan hiruk-pikuk dunia yang melalaikan aku dari aktvitas literasi, yang pada awalnya sempat mengantarkan aku menjumpai orang-orang luar biasa tadi.
Konon, Chairil Anwar pernah berang saat mendengar keluhan seorang penyair yang malas berkarnya dengan alasan nggak dapat mood. Bagi Chairil, penulis/sastrawan tidak boleh menyerah pada mood, karena ketika mood itu tidak nampak justru kitalah yang harus menyongsongnya, kitalah yang wajib menjemputnya.
Prinsip itu pernah begitu tercamkan dalam benakku. Aku begitu menghayatinya saat awal kali belajar menulis.
Namun entah kenapa, kian larut aku belajar menapaki jalan sunyi menjadi seorang penulis –meminjam istilah Muhidin M. Dahlan- makin terkikis pula semangat ala ”angkatan `45” itu. Selalu saja aku berdalih di balik semboyan ”merdekakanlah pikiranmu sebelum membaca dan menulis sesuatu” yang dikampanyekan oleh penganut Roland Barthes itu. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan logika macam itu. Sebab mereka berdiri di atas konteks perlunya kita lepas dari konstruk ”kekuasaan” pengarang demi membebaskan teks itu yang kita baca. Hingga selanjutnya kita dapat memproklamirkan the dead of author.
Tapi aku sering pake alibi, ”kalau memang lagi tidak merdeka, atau suasana hati tidak riang untuk menulis, lebih baik jauhi buku dan komputer.” Padahal itu hanya apologi yang kuilmiahkan demi menutupi kemalasanku yang tambah akut. Tiap mau menulis, ada saja rintangan yang sukses kujadikan sandaran ”ilmiah” demi menunda selesainya teks tersebut.
Sampai akhirnya aku menemukan analogi menarik dari seorang penulis –lupa namanya- yang mengibaratkan kerja seorang penulis sama halnya aktivitas tukang bongkar bangunan. Maksudnya saat kita mau menulis, saat itu jugalah kita mulai menyusun siasat untuk membongkar sesuatu. Apakah itu bobroknya moralitas politisi, buruknya kebijakan ekonomi pemerintah, parahnya kondisi sosial-budaya masyarakat kita, dan sebagainya. Bahkan termasuk ikhtiar membongkar keburukan diri kita sendiri, mengabarkan kesenangan kita sendiri yang awalnya (mungkin) hanya ingin kita nikmati sendiri dalam pagar privatisasi kita.
Dalam konteks analogi itu, sang penulis tersebut menyamakan sikap malas kita dengan berdirinya tembok baru yang tumbuh di samping kokohnya tembok lama. Artinya jika kita biarkan kemalasan itu menginjeksikan virusnya, niscaya kita menyokong tegaknya bangunan baru yang justru menghalangi upaya kita menghantam bangunan aslinya. Jadi seorang penulis dipaksa kerja dua kali merobohkan tembok jika ia terus-terusan membiakkan kemalasan.
Penuturan itu membuatku tergugah. Pun diriku merasa bersalah pada Pramoedya Ananta Toer yang sudah susah payah mengajari kita agar lebih beradab dengan cara membangun kultur literer yang kokoh, yang katanya, eksistensinya akan melampaui ruang-waktu kehidupan dunia. ”Jika umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan.”
Akhirnya aku kembali bergairah untuk tidak melewatkan saat senjaku begitu saja. Seusai kita berkeluh kesah seharian, alangkah indahnya jika itu terangkai manja dalam rangkuman kata-kata.
Senja mulai menyala. Saat itulah anak-anak mulai melangkah pulang sehabis puas bercanda-tawa, saat itulah para pekerja kembali ke peraduan keluarga, saat itulah para manula menikmati suguhan jamuan teh bohemian-nya, dan saat itulah semuanya ingin menikmati jeda. Namun di saat itu jugalah aku tidak ingin mengambil jeda. Aku ingin merenungkannya, melarutkannya, lantas menuliskannya. Tak peduli apa yang terjadi setelah malam, tanpa hirau apa yang bersinar selepas fajar. Karena aku hanya ingin menulis. Itu saja.
Jumat, 01 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
kurang banyak isinya, kurang variatif.....tolong muat teme budaya..
Saya adalah pemilik domain jalansutera.com. Tapi saya bukan Bondan Winarno. Anda harus bisa membedakan antara jalansutera.com dan milis kuliner jalan-jalan dan makan-makan yang bernama jalansutra. Mohon artikel yang sudah Anda tulis ini dikoreksi. Thanks
aduh...budaya tulis blogx smakin pudar, pdhal bs jd alternatif penyadaran bagi masyarakat yg sakit ini.
smoga menulis hal yg baik itu bukan nilai,bkn morality, tapi kelaziman..
Posting Komentar